bendungan irigasi dan beton






Irigasi berasal dari istilah irrigatie dalam bahasa Belanda / irigation dalam bahasa Inggris. Maksud irigasi yaitu untuk mencukupi kebutuhan air di musim hujan bagi keperluan pertanian seperti membasahi tanah dll. Read Full...
 

Free Blog Templates

Masalah Alutsista di Indonesia dan kebutuhan Grand Strategy

Cetak E-mail
Ditulis Oleh Dimas P Yuda 25 Mei 2009.

Jatuhnya pesawat C-130 Hercules Alpha 1325 di Magetan, Jawa Timur, 21 Mei kemarin tentulah membuat kita terenyuh akan duka yang diderita para korban maupun keluarga jatuhnya pesawat itu. Suatu hal yang miris bahwa para prajurit TNI harus mengatakan siap untuk segala tanggung jawab yang diembannya, namun tidaklah didukung oleh kesiapan pesawatnya. Hasilnya pesawat itu, dalam sebuah istilah, dikatakan sekaligus sebagai “peti mati” bagi para prajurit kita.

Tragedi itu tentunya menambah daftar kecelakaan pesawat milik TNI. Berdasarkan data yang ada sejak tahun 1991, sudah 10 pesawat milik TNI yang jatuh (Seputar Indonesia, 22 Mei 2009). Bahkan peristiwa semacam ini tidak lama berselang sebelum jatuhnya pesawat Fokker 27 di Hanggar Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, 6 April lalu. Meskipun untuk pesawat C-130 Hercules belum dinyatakan penyebab resmi kecelakaan, namun dari data kecelakaan sejak 1991 itu menunjukan rata-rata penyebab kecelakaan adalah akibat mesin mati atau rusak. Belum lagi catatan yang menunjukan bahwa di tahun ini saja sudah 76 anggota TNI yang menjadi korban tewas dalam kecelakaan terkait persenjataan TNI (Kompas, 25 Mei 2009).

Pemerintah, termasuk TNI, jelas saja tidak lupa dengan upayanya meminimalisir masalah kecelakaan itu. Bahkan TNI AU sempat mengusahakannya dalam garis kebijakan yang dikatakan sebagai Peta Jalan menuju Kecelakaan Nol (Road Map to Zero Accident). Dimana rencana itu meliputi keselamatan di setiap satuan operasional, “go and no go item” pada alat utama sistem senjata (alutsista), peningkatan kualitas sumber daya manusia, perampingan tipe pesawat dan “accident investigation”. Namun, suatu kepastian bahwa tragedi Megetan itu masih menunjukan minimnya nilai kelayakan alutsista kita.

Anggaran dan alutsista

Kondisi pertahanan suatu negara tentu saja, salah satunya, bisa dilihat dari kondisi alutsista angakatan bersenjatanya. Semakin kuat, canggih, modern, efektif dan efisien alutsista suatu negara, biasanya menunjukan semakin kuat pula pertahanannya. Superpower Amerika Serikat di dunia selain didukung oleh kekuatan ekonominya selama bertahun-tahun pasca Perang Dunia II, tentunya didukung pula oleh kemampuan alutsista militer mereka.

Oleh karenanya, ketika China berusaha mengembangkan kapasitas pertahanannya dengan menambah anggarannya untuk memperbaiki alutsista, kesejahteraan prajurit sampai penelitian tentang pertahannya. Dimana terjadi peningkatan anggaran pertahanan China menjadi 480.9 miliar yuan atau sekita 70 miliar dolar AS, atau naik 62,48 miliar yuan dibanding tahun sebelumnya. Hal ini membuat Amerika Serikat tersaingi dalam hal memberikan pengaruh di kawasan, khususnya Asia Timur. Terlebih lagi keberanian China yang memergoki dan memprotes kapal mata-mata AS, USNS Impeccable, di Laut China Selatan, baru-baru ini.

Sementara itu, keunggulan militer di kawasan Asia Tenggara dapat dilihat pada kemampuan Singapura. Negara kota dengan luas hanya 684 km2 memiliki catatan anggaran pertahanan di tahun 2007 sebesar 6,148 miliar dolar AS. Mirisnya di tahun yang sama Indonesia yang luasnya mencapai 1.919.400 km2, hanya memiliki anggaran pertahanan 4,160 miliar dolar AS. Kenyataan ini menunjukan adanya masalah penting dalam minimnya anggaran dan masalah yang dihadapi alutsista kita.

Hal seperti itu tentu saja berpengaruh pada posisi tawar Indonesia saat menghadapi Singapura dalam usaha diplomasi membentuk Defense Cooperation Agreement (DCA). Dimana Singapura bisa membatalkan secara sepihak perjanjian itu dengan menolak perjanjian ekstradisi (Extradiction Treaty/ET) dengan tujuan mengembalikan dana para pengemplang BLBI yang lari ke Singapura (Media Indonesia, 20/3).

Belum lagi usaha lain dari Australia yang menambah anggaran pertahanannya menjadi 70 miliar dolar AS dalam 20 tahun ke depan. Dimana dalam buku pertahanannya, Australia melihat adanya ancaman baru di kawasan yang dapat berpengaruh kepada keamannnya.

Peningkatan anggaran pertahanan atas dasar adanya peningkatan ancaman eksternal itu tentu saja wajar bagi suatu negara. Namun suatu hal yang patut dicatat adalah, sebagaimana Singapura, Australia pun merupakan negara tetangga kita, bukan tidak mungkin beberapa poin diplomasi yang sudah tertulis menjadi sebuah bentuk perjanjian seperti “Lombok Treaty” akan di dispute oleh Australia. Dan pada saat situasi ini mungkin terjadi di masa yang akan datang, tentunya akan mempersulit kita.

Masalah pada grand strategy

Dari tragedi di Magetan, kita melihat bahwa ada sekitar 34 dari 101 korban tewas berasal dari kalangan sipil (Kompas & Seputar Indonesia, 22/5). Kendati sudah ditampik oleh pihak TNI bahwa penumpang sipil itu adalah keluarga militer yang oleh karenanya diperbolehkan ikut menumpang pesawat. Akan tetapi tetap saja hal itu menimbulkan kecurigaan bahwa pesawat itu dipergunakan untuk “aktivitas” komersil. Kalau memang benar, apakah ini masuk ke dalam bagian dari bisnis militer yang pasca disahkannya UU RI No. 34 Tahun 2004 coba untuk dihilangkan?

Jawabannya tentu saja, iya. Kalau memang begitu artinya telah terjadi pelanggaran terhadap huruf d pasal 2 UU TNI yang mengatakan bahwa jadi diri TNI adalah: “Tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti perkembangan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.”

Namun pasal itu pun sekaligus menunjukan tanggung jawab negara untuk memenuhi perlengkapan (baca: alutsista) TNI dengan baik. Selama ini persoalan anggaran memang menjadi masalah yang berhubungan dengan buruknya kondisi alutsista. Di tahun ini saja, negara hanya mampu menyanggupi Rp 35,03 triliun atau turun sekitar Rp 1 trilin dari tahun 2008 yang mencapai Rp 36,32 triliun. Padahal Minimum Essential Force (MEF) bagi Dephan itu semestinya Rp 127 triliun. Dari anggaran itu TNI AU hanya mendapatkan sekitar Rp 3,4 triliun. Minimnya anggaran itu menjadi alasan bahwa alutsista hanya memiliki perawatan yang memenuhi standar minimal. Apalagi kalau berpikir untuk melakukan “miliary build-up” pada keseluruhan angkatan bersenjata kita, rasanya tidak mungkin.

Melihat masalah yang begitu rumit pada sisi anggaran pertahanan tentunya dibutuhkan sebuah terobosan jalan keluar yang lebih inovatif. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah grand strategy masalah alutsista sebagai bagian besar dari kebijakan pertahanan. Ada beberapa langkah yang barangkali bisa menjadi acuan. Pertama, pemerintah harus mampu mendefinisikan ancaman secara komprehensif. Melihat bahwa kecenderungan pertahanan (termasuk keamanan/security) tidak lagi mengedepankan state security tetapi human security, maka persoalan keamanan tidak melulu diberikan porsi besar pada aktor militer, tetapi kepada aktor sipil yang mesti dituntut secara profesional untuk menghadapi ancaman tersebut.

Kedua, kemampuan mendefinisikan ancaman memberikan kesempatan kepada otoritas pengelola anggaran pertahanan (katakanlah Dephan) untuk memberikan prioritas penganggaran bagi ketiga matra, termasuk kebutuhan Dephan. Dengan jelasnya ancaman yang akan dilawan, maka diharapkan penganggarannya tidak “berat” sebelah hanya pada salah satu matra. Namun lebih dikedepankan asas kebutuhan. Artinya, kalau memang karena ancaman itu berasal dari udara, dan bahwa alutsista udara lebih membutuhkan biaya perawatan yang tinggi, maka sudah sepantasnyalah porsi anggaran yang lebih besar diberikan pada matra itu.

Ketiga, ketika persoalan proporsionalitas anggaran berdasarkan kebutuhan sudah dipenuhi maka strategi pengembangan alutsista bisa dilakukan. Dalam hal ini melakukan pembaruan alutsista mesti menjadi prioritas. Artinya reduksi atau penyingkiran alutsista lama yang dapat mengurangi kemampuan tempur bahkan membahayakan jiwa prajurit harus dilakukan.

Keempat, dalam mengelola dan termasuk jika ada upaya memperbaharui kondisi alutsista, sebenarnya pemerintah bisa saja memanfaatkan BUMN strategis dalam negeri yang mampu memperoleh alutsista tersebut. Selama ini terlihat masih ada ketergantungan alutsista pada negara asing. Padahal BUMN di dalam negeri pun sesungguhnya bisa saja diandalkan asalkan ada political will dari pemerintah. Pemesanan Ranpur rancangan Pindad, APS-2, atas dorongan khusus Wapres Jusuf Kalla (Angkasa, Maret 2009: 4), menunjukan bahwa hal itu bisa saja dilakukan.

Kelima, bagian lain dari grand strategy itu adalah soal akuntabilitas dan transparansi anggaran pertahanan termasuk soal penggunaan alutsista yang dibeli melalui anggaran itu. Dalam hal ini pemerintah mesti secara terbuka kepada publik mempertanggung-jawabkan penggunaan anggaran dan alutasista yang dibelinya. Hal ini mengingat siar kabar yang mengatakan banyak “broker” senjata yang memanfaatkan kedekatannya dengan “oknum” khusus di pemerintahan, yang berupaya mempengaruhi belanja pemerintah pada alutsista sebagaimana juga terjadi di banyak negara. Selain itu yang terpenting, apakah alutsista yang dibeli dengan dana publik itu digunakan memang benar untuk pertahanan dalam rangka menyelamatkan warga negara, atau justru sebaliknya malah melanggar HAM yang dimiliki warga negara. [DPY,25/5/09]
Powered By Blogger

Blog Tricks

Pesawat Hercules C 130 milik TNI AU jatuh dan meledak di Desa Geplak, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, Rabu (20/5) pagi sekitar pukul 06.25. Sebelum jatuh, sayap kiri pesawat jatuh di persawahan Desa Gebyok, Kec. Karangrejo, Magetan, sekitar 2 km sebelum pesawat jatuh.(*z/Fikri Ali/ant)

Berikut adalah daftar nama korban selamat dan meninggal pesawat hercules milik TNI AU yang jatuh di Desa Geplak, Kecamat Karas, Kabupaten Magetan, Jatim, Rabu sekitar pukul 06:25 WIB. Pesawat angkut berbadan lebar ini, berangkat dari Jakarta, Madiun hingga Biak dengan membawa penumpang 110 orang, 11 di antaranya kru pesawat hercules.

Berdasarkan data yang dihimpun matanews.com di RS Lanud Iswahjudi, Magetan, korban selamat untuk sementara ini adalah sebanyak 15 orang dan baru dapat deketahui identitasnya 11 orang yakni, Mayor Dedi Fachrudin (34), Agus Juharsa (33), Purwanto (24), M Saputra (45), Satrak (42), Susanto (33), Rudi Iswanto, Guli N Indah (22), 8. Warsito (47), asal Sukoharjo, Sulasmin (49), Anak Anggun dan Serka Asep.

Sementara korban meninggal adalah, Pratu Bayu, Pratu Alfon, Pratu Erwinsyah, Marsekal Muda Harsono, Ny. Dedi Harsono, Sri Hartati, Serma Dwijayanto, Ny Nurmansuri, Letkol Bugi, Ny Sudarmini, Suharti, Serma Andi Wiratno, Pratu Ade Taufik, Serma Alfian, Kapten Heri Kasmiati, Angga, Serda Danuri, Prada Heru, Serma Almin, Hj Karwati.

Ny Sera Asmawi, Wahyu Ahmad, Untung, Langka, Ny Sumiati, Letnan Ato, Mayor Agus Sigit, Praka Supriyono, Serka Agus Indra, Ngadis, Jamaludin, Serma M Rohim, Ny Asep Dedi Sukarno, Ardia (Anak Serka Asep, korban selamat), Mayor Kuntarto, Letkol Jatnika, Ny Herlina, Tegus Widodo, Ny Yuni, Mayor Danu, Kapten Yunan Firdaus, Agus Sartono (Asal Wamena), Surajiono (jalan Adi Sutjipto Malang), Tegus Setiono (Pegawai Dinas Penelitian dan Pengembangan Jakarta)’

Surya Cahyono (Pasar Rabu Kediri), Lettu Suhartono (Kru Pesawat), Ny Ngatini (Dolopo Madiun), Kapten Andi (Dansat Komlek), Prada Wisnu, Ny Sutiati, Suwito (suami Ny Sutiati), Hasrul Ali Lajab (jalan Kemajuan Makasar), Serda Gusti Ayu Made Intan, Serda Agus AR, Mayor Boy Timur, Rahmi Ngatiningsiuh (Jakarta Timur).

Powered By Blogger

Easy Blog Tricks


ShoutMix chat widget
Powered By Blogger
© Grunge Theme Copyright by 4 CIVIL ENGINEERING or TEKNIK SIPIL | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks